pic by google |
Hari-hari terakhir ini banyak waktu tercurah untuk melakukan riset sederhana tentang pola hidup, tata cara dan konsumsi di jantung ibu kota. Tentu saja, ini hanyalah penelaahan sederhana, tidak didasarkan pada asumsi yang macam-macam dan dilakukan dengan sepintas saja. Namun bagi saya tetap menarik, bukan karena saya tinggal di desa dan kemudian merasakan perbedaan dengan kesehariaan kehidupan di jantung kota, tapi lebih karena saya memandang kehidupan dimanapun sebagai sesuatu yang integral, satu kesatuan dan tak terpisahkan sehingga banyak yang bisa kita pelajari. Berikut beberapa hal menarik untuk diperhatikan :
- Fakta 1 : Jalan-jalan di jantung ibu kota, pada umumnya sesak...orang parkir dimana-mana, trotoar dipake jualan hingga kita harus jalan dengan ekstra hati-hati dan kadang beralih ke badan jalan, orang-orang sudah mulai memakai masker untuk melindungi organ pernafasan mereka. Padat, penat, bising dan terpolusi.
pic by google |
Kondisi ini sebenarnya bisa menjadi peluang yang bisa ditangkap oleh petani kita. Paling tidak untuk masyarakat kota yang menghadapi kondisi seperti ini relaksasi menjadi kebutuhan utama. Aroma terapi, obat-obatan herbal, buah-buahan segar serta produk biofarmaka lainnya sangat dibutuhkan untuk mengurangi tekanan dan menjaga kesehatan.
- Fakta 2 : Saya tidak bisa tidak mengagumi performance orang-orang disini. Wanita yang bagi saya biasa-biasa saja, bisa memulas diri menjadi menarik, orang-orang tampil gagah, seksi dan kompeten. Kedai-kedai sempit, warung-warung kecil tampil dengan ciri khas yang kuat serta berebut menampilkan menu produk mereka yang terbaik dan saya cukup terkagum-kagum dengan itu, dibandingkan dengan tempat kerja dan keseharian kami dimana dunia menggelinding begitu saja.
Hal inilah yang perlu banyak dipelajari dan diadaptasi oleh petani dan penyedia produk di pedesaan. Begitu banyak produk maupun komoditas dengan kualitas baik yang tidak diberi sentuhan sehingga gagal menarik hati dan tidak memiliki nilai tambah dan harga jual yang semestinya. Produk yang baik, yang tidak diperlakukan dengan baik, tidak ditangani dan dikemas dengan baik pada akhirnya hanya akan membentur dinding persepsi konsumen dan terlempar ke pasar becek, pengap dengan harga yang terinjak-injak. Petani pedesaan harus banyak belajar hal ini, belajar menampilkan, belajar mengemas, belajar memberi citra, memberi nilai, memberi label dan dengan penuh kesungguhan berjuang dan meyakinkan konsumen bahwa produk kita berkualitas baik, halal, aman dari pestisida berbahaya, menyehatkan, bernilai gizi dan alami.
- Fakta 3 : Simplisitas dan minimalis, fakta ini saya lihat lewat tekstur bangunan, pelayanan jasa, interaksi personal, gaya berpakaian dan berkendara.
pic by google |
Fakta ini menyeruak kesadaran terutama karena ini menyangkut bagian penting yang terkadang susah diubah, baik pada petani pedesaan maupun bagi kita semua, yaitu pola pikir (mindset). Pola pikir petani kita masih berorientasi kebun, artinya produk yang bagus kelihatan (well performance) di kebun. Ruang untuk komoditas yang dibutuhkan cepat, dikonsumsi banyak orang, dicari pasar masih tertutup. Pikiran kita masih seperti bongkahan batu besar yang menganggap bahwa orang hidup untuk makan : maka tanam saja sumber karbohidrat sebanyak-banyaknya karena kalaupun tidak bisa dijual atau harganya rendah toh masih bisa kita konsumsi dan jadi jaring pengaman sosial kita.
Kita harus tampil sigap dan berubah, banyak yang dibutuhkan cepat yang bisa kita kembangkan semisal ayam kampung, bebek, kambing, beras organik, jamur, bungakol, lele, bumbu-bumbu dan lain sebagainya, karena itu bisa menghasilkan pendapatan yang cepat dan relatif lebih baik.
Ayo..majulah, gerakan roda ekonomi pedesaan!
(Nandang untuk hubungan desa kota kaitannya dengan ekonomi pedesaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar